Pemberantasan KKN di ujung tanduk
Oleh : Muhammad Jusuf *
Cita-cita agar Indonesia akan menjadi negara demokratis, adil, makmur dan menjadi negara yang memiliki kekuatan ekonomi ke-5 terbesar di dunia pada tahun 2025 nampaknya tidak lepas dari berbagai cobaan dan rintangan.
Salah satu diantaranya adalah polemik siapa yang berhak melaksanakan penuntutan atas segala kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), apakah tetap petugas dari KPK atau pihak Kejaksaan.
Polemik ini sudah sedikit terjawab, dua hari sebelum tugas mereka berakhir Senin, 28 September 2009 lalu DPR secara aklamasi mengesahkan RUU Tipikor yang di salah satu pasalnya menyebutkan penuntutan kasus pidana yang telah disidik KPK menjadi wewenang Jaksa. Pertimbangannya, ini sudah sesuai dengan Undang-undang yang ada yang berkaitan dengan hukum pidana korupsi.
Memang, hampir di seluruh dunia, seorang jaksalah yang berwenang sebagai pihak penuntut dalam berbagai kasus hukum pidana. Namun, bukankah kita semua tahu, bahwa latar belakang diberikannya kekuasaan dan wewenang penyedikan sampai tuntutan kepada KPK ketika KPK ini mulai dibentuk karena ‘’kepercayaan’’masyarakat Indonesia terhadap ‘’kejujuran’’ dan ‘’keadilan’’ penegak hukum di Indonesia, mulai dari Kepolisian, Kejaksaan dan Hakim ‘’nyaris’’ ‘’hilang’’. Berapa banyak kasus-kasus penyidikan dan penuntutan kasus korupsi yang hanya ‘’menguap’’ ketika sampai ke tingkat palu Hakim, yang banyak orang menduga akibat ada unsur Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dari tiga pilar penegakl hukum itu, dari Kepolisian, Kejaksaan dan Hakim, bahkan belakangan marak melibatkan ‘’para’’ pembuat undang-undang atau anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Sehingga banyak anggota masyarakat ‘’menuding’’ dipaksakan disahkannya RUU Tipikor sebagai bagian dari penyelamatan mereka sendiri dari jeratan hukum di masa mendatang, pendek kata, mereka tidak ingin mengulangi banyaknya anggota DPR dan DPRD periode 2004-2009 lalu yang akan dijerat ‘’KPK.
Buah simalakama
Untuk menegakkan hukum yang seadil-adilnya di Indonesia memang kita memerlukan orang-orang yang bersih dan memiliki visi ke depan, serta jujur yang bisa dikontrol oleh undang-undang itu sendiri. Tentu saja kita harus mengawalinya di tingkat para pembuat undang-undang itu sendiri yaitu anggota DPR, kemudian Kepolisian sebagai penyidik, Kejaksaan sebagai penuntut, dan Hakim yang memutuskan apakah tuntutan yang ada sudah sesuai hukum, adil dan sesuai dengan hati nurani yang bersih dan adil.
Salah satu daya dukung agar mereka bisa bertindak jujur dan adil, selain mereka, seperti kerap diucapkan ‘’mantan’’ penegak hukum yang dikenal ‘’bersih’’ Bismar Siregar, agar mereka berbuat jujur dan adil karena takut hari ‘’pengadilan’’ di akherat oleh Tuhan yang Maha Kuasa, adalah apakah para pembuat undang-undang dan penegak hukum itu sudah mendapatkan gaji yang cukup dan layak.
Beberapa pekan lalu, ketika Rektor Innstitute Pertanian Bogor (IPB) mengumpulkan para orang tua calon Mahasiswa baru di kampus mereka di Bogor, ada seorang Ibu, perwira Polisi yang suaminya juga seorang perwira polisi mengeluh: ‘’Bapak Rektor, saya seorang perwira polisi, dan suami saya juga seorang perwira polisi, tapi saya lagi pusing bagaimana saya bisa membayar uang kuliah anak saya yang telah di terima di IPB ini, padahal tahun lalu kakaknya juga baru saja masuk perguruan tinggi. Walau gaji saya digabung, tetap saja ngak cukup, karena saya banyak pengeluaran lain di rumah,’’ kata Ibu Polisi itu mengeluh.
Keluhan Ibu Polisi itu membuktikan, secara kenyataan, kalau mereka dalam bertugas dilaksanakan dengan jujur, tanpa melakukan KKN, walau mereka suami istri sama-sama perwira Polisi, tetap saja tidak bisa hidup dengan layak dan ‘’normal’’. Jadi, kita bisa menilai sendiri, apakah para penegak hukum itu baru bisa hidup layak dan normal itu harus terlebih dahulu ber-KKN-ria ?.
Bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang citranya sebagai Presiden dalam periode 2004-2009 telah naik salah satu diantaranya berhasil mengawali penegakan korupsi dengan dukungannya terhadap tugas-tugas KPK, menghadapi masalah yang dilematis di dalam mengatur RAPBN mereka di masa mendatang, memberikan gaji yang cukup dan layak bagi para pembuat undang-undang dan penegak hukum itu berarti akan menguras anggaran dan bisa memperkecil porsi anggaran di sector lain.
Mengkaji kembali skala prioritas anggaran di APBN memang mau tidak mau harus dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Memberikan skala prioritas bagi sector-sektor yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi, seperti di sector infrastuktur memang perlu dilakukan, agar dampaknya bisa memperbesar devisa negara, yang pada gilirannya memperbesar APBN, dan bisa memperbesar anggaran untuk belanja gaji pegawai negeri dan anggota militer. Namun, pengalaman pengalaman pembangunan selama lebih dari 30 tahun, ternyata program ini tidak terlalu efektif. Pembangunan di sector infrastruktur tetap saja tidak berjalan secara efektif dan efisian guna menggenjot pertumbuhan ekonomi, karena pelaksanaan tender pebangunannya dicemari dengan tindakan KKN, sehingga kualitas pembangunannya susut 50%, dan pada gilirannya malah memperlambat pertumbuhan ekonomi, karena anggaran yang ada kemudian hanya digunakan di sekitar perbaikan infrastruktur akibat kualitas pembangunannya yang seharusnya tahan lama, jadi lemah, belum lagi tingkat keefisienannya akibat biaya tinggi, akibat anggaran nyata ‘’sebenarnya’’ sebagian besar masuk ke kantong kontraktor dan pejabat pimpinan dan pelaksana proyek.
Apakah sebaiknya persepsi mendahului pendapatan dahulu baru dampaknya terhadap peningkatan gaji melalui APBN ini kita balik, kita ‘’investasikan’’ dahulu anggaran APBN kita selain untuk sector pendidikan, juga kita besarkan di sector Pertahanan dan Kepolisian, Kehakiman , Kejaksaan, bahkan kalau perlu memberi subsidi lebih banyak untuk member I gaji ke para wartawan, agar mereka yang selama ini sebagian besar, seperti juga para penegak hukum ‘’menjadi lemah’’ control sosialnya karena kerap ‘’menerima amplop’’ dari para ‘’koruptor’’. Dengan skema yang dibalik ini bukan tidak mungkin dampaknya malah bisa mendorong pertumbuhan ekonomi secara rill, bukan palsu. Dengan penegakan hukum yang konsisten, bersih dan adil, para kontraktor yang menang tender betul-betul fair, sehingga mereka melaksanakan pembangunan proyek yang berkualias dan efisien, sehingga mungkin pemerintah bisa menghemat anggaran bisa 50%.
Polisi yang sudah cukup gajinya lebih disiplin, dan jujur serta adil, sehingga devisa negara dari jutaan kasus tilang di jalanan yang jumlah dan nilainya bisa triliunan rupiah tidak masuk ‘’kantong’’ ke Pak Polisi, tetapi ke kas negara. Para petugas di berbagai bandara dan pelabuhan pun bisa menyelamatkan perekonomian dan devisa negara dengan menggagalkan kasus penyelundupan, yang selama ini telah turut menjadi andil mematikan banyak perusahaan garmen dan tekstil nasional, karena arus masuk produk illegal dari Cina yang harganya bisa lebih murah 50%. Padahal produk local tetap sulit bersaing karena biaya produksi mereka karena ‘’biaya tinggi’’ karena harus membayar berbagai pungutan ‘’siluman’’ ke pejabat local.
Kenapa kesejahteraan Polisi dan penegak hukum kita malah lebih rendah dari pegawai level paling bawah di Bank Indonesia. Bila pegawai level paling rendah di Bank Indonesia mampu membeli mobil, mengapa gaji perwira menengah polisi dan kejaksaan malah hanya mampu ‘’kredit’’sepeda motor.
Inilah dilemma kita, sebenarnya untuk memberantas KKN yang banyak orang ‘’mengejek’’ sudah menjadi budaya bangsa Indonesia sehingga diperlukan sebuah revolusi politik dan kebudayaan untuk mengubahnya. Ini sudah diawali dengan dibentuknya KPK. Dalam dua periode kepengurusannya KPK sudah mencapai sukses, padahal berdirinya KPK bukanlah segalanya mampu membersihkan Indonesia dari KKN. Ini baru langkah awal menuju ke sana. Karena, langkah selanjutnya adalah memfungsikan kembali dan merevitalisasi para penegak hukum lainnya seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan Kehakiman agar pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa jalan lebih cepat, tidak diperlambat hanya karena KKN. Bukan malah mereka saling bersaing dan saling ‘’menjantuhkan’’ hanya karena salah satu pihak ‘’ngiri’’ atas kekuasaan yang besar yang dimiliki KPK. Sebenarnya, kekuasaan yang ada sudah besar, dan ini hanya bisa dibuktikan dengan penegakan hukum yang adil, jujur dan bersih.
artikel ini didapatkan dari alamat "http://www.duaberita.com/main/artikel-dua/dua-kebangsaan/592-artikel-pemberantasan-kkn-di-ujung-tanduk-.html"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar